Selasa, 22 November 2011
Sabtu, 18 Oktober 2008
Photography As A Research Method
"If I could tell the story in words,
I wouldn't need to lug a camera."
-Lewis Hine
Walker Evans at work, ca. 1929.
The purpose of any type of documentary is to record and demonstrate what is important about any sort of event, people or place. The finished project should contain selected excerpts from the entire observational experience--the excerpts are (in the mind of the author) the most crucial aspects of his/her research or observations that best represent the whole. Example: You sit in class and take notes; you do not write down every word the lecturer says: you are writing your own documentary of the lecture. Think of any work (fiction or not) you have ever read; the contents of the work are used to demonstrate a concise purpose--a means to an end--without leading the reader astray with other "means" that may lead to an alternative "end".
The inherent problem with any type of documentary that you read is that it is transmitted to you via the author. Thus, how can one judge the "realness" of what you are observing, as compared to what the researcher observed. At some point, you must sacrifice your desire to know all the facts, and make a judgement on the truthfulness in the facts which you are given. Enter photography (still photography that is) as a research method, and it seems that your problems are solved; people believe that the camera does not lie. Have you not ever said the words: "I'll believe it when I see it," or "seeing is believing." However, as Susan Sontag, in "On Photography" explains:
The photographer was thought to be an acute but non interfering observer--a scribe, not a poet. But as people quickly discovered that nobody takes the same picture of the same thing, the supposition that cameras furnish an impersonal, objective image yielded to the fact that photographs are evidence not only of what's there but of what an individual sees, not just a record but an evaluation of the world.
As Alan Trachtenberg explains in "Reading American Photographs":
Photographs transcribe, not "reality", but the world as it was seen and recorded...in the picture we see the world from the angle of the camera's partial vision, from the position it had at the moment of the release of the shutter.
Although we recognize that the photographer is not a mere objective recorder, but a subjective evaluator, we still believe that the camera does not lie. So, the camera is capable of two capacities at the same time: it can objectify reality and subjectify it. In this dual function lies the value of using photography as a research method. The (if you will) photographer's ass is always covered. You may not agree with his/her (subjective)evaluation, but thanks to the objective nature of photographs you cannot deny its truthfulness; "photographic images do not seem to be statements about the world so much as pieces of it"(Sontag). In this sense, these pieces serve as pieces of evidence. Evidence, of course, is what every one is looking for.
Yet, it is necessary to remember, that although the photographer's evidence may be declared legitimate, it has already been selected by the photographer as such. That is, that the photographer has ultimate consent to edit his own images. There is no rule that says all photographs must be viewed with every other photograph taken in that same sequence. Any photographer hired for an assignment should be able to produce whatever it is that assignment requires. Example: "Document the abundance of people who sleep in the UVA libraries." Now, any one of us, with a point and shoot camera, could peruse the libraries at UVA and take pictures only of those people who are asleep. We know, however, that the percentage of students asleep is minute compared to those awake, but that is irrelevant to our assignment, and thus, we have chosen to leave any evidence supporting that out of our photographs. Secondly, even if, by mistake, we took a picture of someone who was wide awake, it does not matter-- just leave it out! This example should portray the extreme manipulability of using photographic images as a research method.
Only with this in mind can we proceed to evaluate what it was that the Farm Security Administration hired its photographers to do. And from there, we can begin to see how Walker Evans succeeded in producing the most objective images of all the FSA photographers, and in the process, re-defined the standards of using photography as a research method.
mario blem
Seorang desainer asal Portugal dengan hasil karya yang artistik. Mario Belem, sang desainer yang menekuni profesi illustrator dan fotografer ini, menggarap setiap pekerjaannya secara detil. Kedetilan inilah yang menjadi poin lebih dari Mario Belem.
Penggabungan antara seni vector dan foto serta kehandalan dalam sketsa hand-drawn, melahirkan karya-karya yang indah untuk dinikmati. Mario banyak menggunakan bentuk-bentuk lengkung yang diadaptasi dari sumber-sumber natural dan juga ornamen-ornamen tradisional sebagai elemen visual pada setiap karyanya.
Penguasaan akan tools komputer grafis seperti Illustrator, Photoshop, Freehand dan Painter, banyak membantunya untuk menyelesaikan setiap pekerjaannya. Permainan warna dan komposisi yang tepat menjadikan karya-karyanya semakin berkelas.
Sabtu, 11 Oktober 2008
Keringat minyak Tambang Tradisional
Tradisional bukan antik
tapi, akan dibiarkan mati...
Tidak lama lagi Bojonegoro bakal menjadi daerah penghasil minyak. hal itu seiring dimulainya eksplorasi pengeboran minyak yang bakal dilakukan EXXON MOBIL OIL Indonesia (EMOI). Eksplorasi minyak itu bakal mengubah Bojonegoro menjadi penghasi petro dolar.
Dibalik rencana eksplorasi itu, nasib ratusan penambang minyak tradisional di Kecamatan Kedewan masih memprihatinkan. Selama ini penambang minyak tradisional telah mengeluhkan harga minyak mentah yang dinilai rendah. Penambang berharap PT Pertamina mau membeli minyak dengan harga sekitar Rp 200.000/drum (1 drum isi 200 liter). Saat ini, minyak mentah hasil tambangan warga itu hanya dihargai Rp 90.000/drum. Sejumlah penambang yang ditemui di lokasi penambangaan minyak di didesa Wonocolo dan Desa Dangilo,Kecamatan Kedewan, mengaku biaya operasional yang dikeluarkan tidak sebanding dengan pendapatan yangdiperoleh. "Sekarang agak lumayan, karena sejak Senin (12/2) lalu harganya telah naik dari Rp 47.500/drum menjadi Rp90.000/drum," ungkap Yadi,35, salah satu penambang.
Menurut Yadi, satu sumur minyak Tradisional biasanya ditambang oleh delapan orang. Setiap hari kerja satu sumur maksimal hanya menghasilkan 12 drum atau sekitar 2.400 liter. Sehingga, pendapatan kotor satu kelompok setiap hari kerja Rp 1.080.000. Namun, hasil minyak mentah itu tidak langsung dinikmati para penambang. Karena pendapatan itu masih dikurangi lagi dengan biaya sewa mobil untuk menarik alat tambang dan membeli solar serta biaya lainnya. "Setelah dibagi ketemunya setiap orang kadang hanya membawa pulang uang Rp 12.000 sampai Rp 20.000/hari," jelasnya.
Keluhan sama dikatakan Marsidi, yang mengaku tidak setiap hari sumur minyak peninggalan Belanda bisa ditambang. Pasalnya, jika hari ini ditambang, sehari kemudian penambangan berhenti menunggu minyaknya penuh dan siap diambil
lagi. Sehingga, dalam seminggu, hanya ada empat hari kerja. "Itupun harus dilakukan bergantian dengan penambang lain. Biar hasilnya merata," terangnya. Sumur-sumur minyak di Desa Dangilo dan Wonocolo, Kecamatan Kedewan seluruhnya berjumlah 196 sumur. Namun, sumur yang dapat ditambang minyaknya saat ini tidak lebih dari 24 sumur saja. Sisanya sudah tidak beroperasi lagi atauhasilnya sangat minim.
Hasil penambangan minyak itu kemudian dijual ke KUD Bogo Sasono yang telah ditunjuk sebagai rekanan penampung minyak mentah yang ditambang secara Tradisional. KUD kemudian menjual minyak mentah itu ke Pertamina Cepu
Pembayaran Pertamina kepada KUD Boga Sasono dilakukan setelah minyak mentah itu diolah oleh Pertamina dan menjadi bahan bakar minyak (BBM). "Kita setor ke Pertamina minyak dihargai Rp 345/liter," ujar Sarmani, Kepala unit penambangan KUD Bogo Sasono.
more sigit foto > Galery.Visualku
Selasa, 09 September 2008
Kontemporer Dance
pelaksanaan workshop diadakan di gedung rakyat Slawi, didepan gedungnya ada sebuah patung seorang DEWI Rantam Sari yang menjadi legenda masyrakat sekitar, patung ini menjadi suatu objek yang menarik bagi para peserta Workshop untuk di capture dengan Kamera Lubang jarumnya. pak Wahyu tidak mau ketinggalan sudah memposisikan kameranya tepat menghadap patung, tetapi para peserta harus bersabar karena matahari sedang tertutup awan dan membuat intensitas cahaya disekitar patung menjadi gelap dan para peserta yang sudah siap untuk memotret patung harus menunggu.
pak wahyu yang juga menunggu mulai mendekati patung dan dia mulai memperhatikan patung dengan sesakma, tanganya mulai mengayunkan gerakan yang meliuk liuk menjadi tarian yang sangat sepontan tanpa direncanakannya, sosok patung dewi rantam sari seperti meikat dan menghipnotisnya untuk mengeluarkan gerakan yang sangat lembut seperti seorang pria yang sedang merayu kekasihnya untuk melakukan hubungan badan yang datang dari kekuatan cinta mereka dan si wanitanya terlihat seperti meanjakan tubuhnya untuk dapat di raih sang pria,
prtunjukan tari dilakukan lebih kurang 10 menit itu membuat membuat para peserta workshop terpukau dengan sepontanitas pak Wahyu dalam melakukan gerakan tarian termasuk saya dan teman-teman yang sedang menjadi mentor diacara workshop ini.
foto&teks by Sigit. >more foto Galery Visualku
Imajinasi
Jauh hari sesudah itu, barulah Edu mengerti mengapa Rasul Muhammad menaksir Sahabat Umar untuk menjadi penggantinya. Dalam sejarah, Khalifah Umar terkenal memiliki sikap dan sifat tegas, pemberani, cerdas, kreatif, baik hati, dan jujur. Semua sifat baik Umar tersebut terekam dengan baik di mata hati Rasul Muhammad sehingga dalam prediksi beliau pastilah sifat-sifat Umar tersebut sangat dibutuhkan untuk tujuan-tujuan kemanusiaan ke depan.
Dari sudut pandang pedagogis, sifat-sifat Khalifah Umar amat dibutuhkan guru dan anak didiknya dalam upaya mengembangkan budaya avonturir, menjelajah alam pikiran dan pengetahuan dengan penuh keberanian, mau mengambil risiko tapi disertai dengan kejujuran, dan kemampuan mengelola imajinasi secara kreatif. Jika budaya itu tumbuh subur di lingkungan sekolah kita, pastilah anak Indonesia akan tumbuh menjadi serangkaian karakter Umar yang bukan hanya berani, tegas, dan jujur, tetapi juga kreatif sekaligus imajinatif.
"Imajinasi lebih menentukan ketimbang ilmu pengetahuan," demikian petuah Albert Einstein. Membuat anak didik kita berani dalam berimajinasi adalah tugas kita semua, para guru dan orang tua. Sebab, Edu yakin benar bahwa keberanian melakukan imajinasi sama dengan berijtihad yaitu kemampuan berlaku, berpikir, dan berusaha secara sungguh-sungguh. Dalam bahasa agama, sekalipun terdapat kesalahan dalam berijtihad, seseorang akan memperoleh satu pahala. Jika ijtihadnya benar, kepadanya akan dinisbahkan dua pahala sekaligus. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah budaya menumbuhkembangkan imajinasi itu telah menjadi perhatian serius dari para praktisi dan pengambil kebijakan otoritas pendidikan kita?
Edu sedikit pesimistis menjawab pertanyaan tadi. Rasa-rasanya budaya belajar di sekolah kita masih jauh dari keberanian mengambil risiko ini, selama para guru dan orang tua masih setia pada pola asuh dan pola ajar yang menggunakan pendekatan stimulus-respons (behaviorism). Bahkan masyarakat kita pun menjadi takut menerima imajinasi seseorang. Sebutlah misalnya kasus blue energy dan Banyu Geni, dua usaha imajinatif yang dilakukan perorangan dan kampus, tetapi tak mendapat respons publik secara positif. Imajinasi mereka seakan bukan sebuah ijtihad sehingga penemunya harus dicaci maki dan diintimidasi, Rektor UMY terpaksa harus mundur karena penemuan dan kebijakan mereka dianggap melawan common sense. Sungguh ironis, sebuah organisasi sebesar Muhammadiyah sebagai pengusung utama tajdid (pembaharuan) dalam bidang sosial dan pendidikan di Tanah Air sekalipun takut melakukan kesalahan.
Viktor Frankl pernah bilang bahwa ada empat anugerah Ilahi yang terdapat dalam diri manusia yaitu (1) kesadaran diri (self-awareness), (2) suara hati (consciense), (3) kehendak bebas (independent will), dan (4) daya imajinasi (imagination). Semua itu berkaitan dengan kerja akal dan hati sekaligus tempat kreativitas harus dihargai secara selayaknya. Jika kita tak mampu menghargai sebuah imajinasi, jangan berharap dunia pendidikan kita akan menghasilkan ilmuwan berkaliber. Bahkan yang mungkin tumbuh adalah anak didik dengan rasa keputusasaan, frustrasi, dan jauh dari kreatif.
Edu tak tahu harus menafsir apa, ketika di ruang kelas ada seorang siswa mengajukan pertanyaan imajinatif dengan kata ’seandainya’. "Seandainya Khalifah Umar Ibnu Khtattab benar menjadi nabi setelah Nabi Muhammad dan masih hidup di zaman sekarang, pasti ia akan memilih John Lennon sebagai Nabi sesudahnya," tanyanya. "Apa alasanmu?" kata Edu. "Iya dong, dengarlah lagu Imagine, sangat menyentuh sekaligus menggugah dalam kondisi dunia yang semakin tak jelas ini." Waduh, apakah ini sebuah logika imajinatif atau tanda keputusasaan seorang siswa? Wallahualam bi al-sawab.