Selasa, 09 September 2008

Imajinasi



Pernah suatu ketika, Edu mendengar Guru Sarmili mengutip sebuah hadis yang isinya tentang kepantasan sahabat Umar bin Khattab untuk menjadi rasul sesudah Nabi Muhammad. Hadis Nabi tersebut lebih kurang berbunyi, "Jika ada orang yang pantas sesudah aku untuk menjadi nabi dan rasul, orang tersebut pastilah Umar bin Khattab RA." Hadis ini dalam pandangan Edu penuh dengan daya imajinasi Rasul Muhammad, yang bukan hanya tak dapat dibaca secara sederhana, melainkan juga mengandung begitu banyak pertanyaan mendasar tentang masa depan umat manusia. Jika hal itu terjadi, pastilah keputusan Rasul Muhammad tersebut merupakan ijtihad terbesar dalam sejarah hidup beliau.

Jauh hari sesudah itu, barulah Edu mengerti mengapa Rasul Muhammad menaksir Sahabat Umar untuk menjadi penggantinya. Dalam sejarah, Khalifah Umar terkenal memiliki sikap dan sifat tegas, pemberani, cerdas, kreatif, baik hati, dan jujur. Semua sifat baik Umar tersebut terekam dengan baik di mata hati Rasul Muhammad sehingga dalam prediksi beliau pastilah sifat-sifat Umar tersebut sangat dibutuhkan untuk tujuan-tujuan kemanusiaan ke depan.

Dari sudut pandang pedagogis, sifat-sifat Khalifah Umar amat dibutuhkan guru dan anak didiknya dalam upaya mengembangkan budaya avonturir, menjelajah alam pikiran dan pengetahuan dengan penuh keberanian, mau mengambil risiko tapi disertai dengan kejujuran, dan kemampuan mengelola imajinasi secara kreatif. Jika budaya itu tumbuh subur di lingkungan sekolah kita, pastilah anak Indonesia akan tumbuh menjadi serangkaian karakter Umar yang bukan hanya berani, tegas, dan jujur, tetapi juga kreatif sekaligus imajinatif.

"Imajinasi lebih menentukan ketimbang ilmu pengetahuan," demikian petuah Albert Einstein. Membuat anak didik kita berani dalam berimajinasi adalah tugas kita semua, para guru dan orang tua. Sebab, Edu yakin benar bahwa keberanian melakukan imajinasi sama dengan berijtihad yaitu kemampuan berlaku, berpikir, dan berusaha secara sungguh-sungguh. Dalam bahasa agama, sekalipun terdapat kesalahan dalam berijtihad, seseorang akan memperoleh satu pahala. Jika ijtihadnya benar, kepadanya akan dinisbahkan dua pahala sekaligus. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah budaya menumbuhkembangkan imajinasi itu telah menjadi perhatian serius dari para praktisi dan pengambil kebijakan otoritas pendidikan kita?

Edu sedikit pesimistis menjawab pertanyaan tadi. Rasa-rasanya budaya belajar di sekolah kita masih jauh dari keberanian mengambil risiko ini, selama para guru dan orang tua masih setia pada pola asuh dan pola ajar yang menggunakan pendekatan stimulus-respons (behaviorism). Bahkan masyarakat kita pun menjadi takut menerima imajinasi seseorang. Sebutlah misalnya kasus blue energy dan Banyu Geni, dua usaha imajinatif yang dilakukan perorangan dan kampus, tetapi tak mendapat respons publik secara positif. Imajinasi mereka seakan bukan sebuah ijtihad sehingga penemunya harus dicaci maki dan diintimidasi, Rektor UMY terpaksa harus mundur karena penemuan dan kebijakan mereka dianggap melawan common sense. Sungguh ironis, sebuah organisasi sebesar Muhammadiyah sebagai pengusung utama tajdid (pembaharuan) dalam bidang sosial dan pendidikan di Tanah Air sekalipun takut melakukan kesalahan.

Viktor Frankl pernah bilang bahwa ada empat anugerah Ilahi yang terdapat dalam diri manusia yaitu (1) kesadaran diri (self-awareness), (2) suara hati (consciense), (3) kehendak bebas (independent will), dan (4) daya imajinasi (imagination). Semua itu berkaitan dengan kerja akal dan hati sekaligus tempat kreativitas harus dihargai secara selayaknya. Jika kita tak mampu menghargai sebuah imajinasi, jangan berharap dunia pendidikan kita akan menghasilkan ilmuwan berkaliber. Bahkan yang mungkin tumbuh adalah anak didik dengan rasa keputusasaan, frustrasi, dan jauh dari kreatif.

Edu tak tahu harus menafsir apa, ketika di ruang kelas ada seorang siswa mengajukan pertanyaan imajinatif dengan kata ’seandainya’. "Seandainya Khalifah Umar Ibnu Khtattab benar menjadi nabi setelah Nabi Muhammad dan masih hidup di zaman sekarang, pasti ia akan memilih John Lennon sebagai Nabi sesudahnya," tanyanya. "Apa alasanmu?" kata Edu. "Iya dong, dengarlah lagu Imagine, sangat menyentuh sekaligus menggugah dalam kondisi dunia yang semakin tak jelas ini." Waduh, apakah ini sebuah logika imajinatif atau tanda keputusasaan seorang siswa? Wallahualam bi al-sawab.

3 komentar:

eka mengatakan...

org Qt mang blum bs open minded mas,

blum bisa atw mungkin blum brani utk ngawang... :(

Qt utk berimajinasi (brangan2)ja hrs bjuang dL d Indonesia ni...
pdahal utk sebuah rencana atw strategi ja qt hrs bisa brangan2 dl, bru bs take the first step'y...
gak gtu kn bngung to....

eka mengatakan...

orang kita bLum bisa open minded mas...
blum bisa atau mungkin blum brani bwt ngawang, gak brani berangan2...
Qt,utk brangan2 ja hrs bjuang dl...:(
pdhl rncana n strategi ja hrus d imajinasiin (dbayangin) dl,br bs dtuangin hitam d atas putih....

CompoR mengatakan...

wah klo menurut saya, banyak orang2 disekitar kita (gak peduli org Indonesia atau bukan) yg berani berimajinasi atau ngawang kok.
Tapi sayang, hanya sedikit orang yg berani mewujudkan imajinasinya itu. Atau malah mungkin sebagian gak tau gimana caranya mewujudkan imajinasi mereka. Bukannya sudah banyak film2 atau iklan2 atau klip2 yg disajikannya terlihat sangat khayal?
Sampe2 peter pan aja bikin lagu yg judulnya khayalan tingkat tinggi.
Terbukti kan klo yg berani menghayal atau berimajinasi itu banyak, tapi mewujudkan dan menjadikannya sebagai sesuatu yg real itu hanya sedikit orang. Bukan begitu bapak??